dear josh; tentang mingyu dan panggung sandiwaranya.

gyushua | written by sha.

sha.
7 min readAug 4, 2023

Mamih: Kirain kamu mau kuliah di luar negeri juga seperti pacarmu si Joshy yang mau lanjut S2 di LA. Loh memangnya Joshy nggak bilang kamu?

Mingyu tidak tahu menahu. Kalau ditanya hal apapun tentang kekasihnya, yang ada dalam otak Mingyu hanya; Joshua itu tampan, jago berbahasa inggris, punya suara lembut yang memabukkan, punya hobi membuat kerajinan, dan juga memasak selayaknya seorang chef professional. Selebihnya? Entahlah. Mingyu tidak pernah yakin.

Hal ini semakin Mingyu sadari dan yakini ketika sebuah kabar yang Mamih kirimkan padanya membuatnya merenung seharian. Kabar yang harusnya dia tahu dari mulut pacarnya sendiri. Kabar yang bahkan tidak pernah ingin dia dengar. Kabar yang dia harap hanya sebuah lelucon yang Mamih katakan untuk menggodanya. Hanya saja, dia yakin, Mamih tidak mungkin berbohong untuk hal-hal seperti itu. Mamih tidak akan mungkin mengarang sebuah cerita kalau hal itu memang benar-benar terjadi.

Rencana hari ini yang seharusnya Mingyu lakukan dengan begitu gembira, berubah 180 derajat jadi sebuah lamunan yang penuh tanda tanya. Kenapa, kenapa, kenapa? Padahal kalau memang Joshua berencana melanjutkan studi ke tempat manapun, Mingyu akan sangat memaklumi. Karena kata Papih; pendidikan itu salah satu yang paling penting. Namun kenyataan bahwa sang kekasih tidak bercerita sama sekali padanya membuat hatinya kelu.

Mingyu tidak mengerti apa yang harus dia lakukan selain diam dan berpura-pura. Bahkan untuk bertanya pun, dia terlalu takut.

Padahal semestinya, jatuh cinta di masa SMA itu hanya berisi keindahan. Bagaimana tiap-tiap kisah yang terjadi akan jadi kenangan manis yang begitu menggelitik ketika diingat. Tentang pipi merah merona dan senyum salah tingkah yang acap kali menghias di tiap harinya. Pun pula tentang pesan-pesan manis yang kadang membuat diri terjaga semalaman.

Seharusnya, semuanya indah. Seharusnya.

Sampai muncul hari dimana Mingyu sadar, kalau angan-angan indah yang selama ini ada dalam pikirannya tidak sepenuhnya sejalan dengan realita. Mingyu itu masih terlalu muda untuk jatuh cinta.

Mingyu bahkan masih belum tahu apa-apa.

Dan satu-satunya hal yang Mingyu tahu, kehidupan itu terkadang berjalan selayaknya panggung sandiwara. Dimana tiap-tiap manusia yang ada di dalamnya pandai bermain peran. Pandai bermain dengan ekspresi; tersenyum, tertawa, bahagia, bersedih, bahkan menangis, hanya demi menghibur manusia yang menonton. Membuat lega dan bahagia mereka semua yang memasang mata padanya.

Padahal kenyataannya, mereka hanya menunjukkan hal-hal yang ditulis dalam skenario yang telah dirangkai, lalu mengubur tiap-tiap kekacauan yang sebenarnya ada di dalam diri mereka sendiri.

Sama halnya yang dilakoni Mingyu sekarang. Bahwa segalanya hanya bisa ditelan dalam topeng gembira, harus melakoni sebuah peran agar tetap baik-baik di depan orang lain bahkan pacarnya sendiri.

Dan … inilah secuil kisah Mingyu dan panggung sandiwaranya. Tentang bagaimana pemuda itu jadi si pemeran utama.

“Filmnya seru nggak tadi, Sayang?”

“Yang mana?” Mingyu menoleh ke arah Joshua dengan sebungkus besar popcorn yang masih lumayan penuh di tangannya.

“Dua-duanya. Suka nggak kamu?”

Yang ditanyai hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. “Seru. Aku suka yang Barbie. Banyak banget yang bisa dipelajarin. Set filmnya juga bagus. Betah nontoninnya.”

Tangan Joshua terangkat mengelus puncak kepala Mingyu dengan lembut. Namun alih-alih menunjukkan rasa senang, Mingyu justru mengigit bibirnya dan hanya terfokus pada jalanan Mall yang mereka lewati.

“Kok cemberut, Sayang?”

“Hm? Nggak tuh.”

“Sedih, ya? Gara-gara Kakak ambil waktu main kamu sama temen-temen?”

Iya sedih, tapi bukan tentang itu. “Kan aku udah bilang, gapapa kok, Kak. Urusan itu gampang aku aja yang bakalan urus. Mereka ditraktir jajan seminggu juga udah cukup.”

“Bener? Nanti Kakak transferin juga ya sebagai permohonan maaf. Kamu mau main terus sama mereka selama sebulan malah bagus.”

Malah bagus?

“Sayang?”

“Iya, Kak?”

Ada hening barang beberapa detik setelah jawaban yang Mingyu ucapkan. Joshua pun tidak serta merta langsung menjawab.

Mingyu langsung sadar, mungkin inilah saatnya.

Mungkin, ini saatnya Mingyu harus menyiapkan mentalnya untuk mendengar ucapan Joshua. Mungkin, sekarang lah waktu dimana Joshua baru punya keberanian untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Mingyu.

“Nanti ….”

Nggak apa-apa, Mingyu.

Harusnya kamu udah jauh lebih siap.

Nggak apa-apa.

Ada jeda yang diambil cukup lama oleh Joshua sampai akhirnya dia tersenyum lebar yang khas dan menatap Mingyu lagi dengan lebih lekat. “Nanti mau mampir dulu ke tempat all you can eat nggak, Sayang? Kemaren ada tempat baru terus katanya enak, Kakak penasaran pengin coba.”

Shit. Bukan itu yang Mingyu harapkan.

“Hei? Kok nggak dijawab?”

“Hm. Kapan-kapan aja deh ya, Kak. Aku capek pengin pulang langsung.”

“Oh… okay. Kapan-kapan aja lagi, ya?”

Dan di sisa perjalanan menuju ke tempat parkir, tidak ada satupun dari mereka yang mengucapkan sepatah kata. Keduanya sibuk tenggelam dalam pemikiran sendiri; yang satu menyimpan kekecewaan yang lagi-lagi membuatnya emosi, sementara yang lain masih sibuk memilah kata yang tepat yang harus dia ucap nanti.

“Kamu yakin nggak mau ngomong apapun sama Kakak? Kalau kamu diem terus gini, nggak akan ada yang bisa paham maunya kamu gimana, Sayang. Nggak semua orang bisa baca pikiran kamu, termasuk Kakak.” Rentetan kalimat penuh penekanan itu jadi kalimat yang akhirnya Joshua ucapkan semenjak keduanya masuk ke mobil.

Bukan hal sulit bagi Joshua untuk tidak benar-benar menyadari perubahan sikap Mingyu padanya. Selama film diputar, Mingyu tidak fokus pada jalan ceritanya sama sekali. Bagaimana pemuda itu lebih memilih terlamun tanpa sepatah kata. Jauh berbeda dari sifat Mingyu yang biasanya; yang seringkali mengganggu Joshua dengan pertanyaan ini itu ketika menonton film. Bahkan ketika Joshua mencoba menggenggam jari jemari milik sang kekasih, tidak ada senyum yang biasa terukir di bibir Mingyu. Lalu selama di mobil, Mingyu lebih memilih untuk melamun dan menatap jalanan dibandingkan mengajak Joshua bercerita. Lebih memilih diam daripada cerewet seperti biasanya.

“Dibilang aku tuh gapapa, Kak. Perasaan kamu doang itu— ” Dan belum selesai kalimat yang Mingyu ucapkan, Joshua buru-buru memotongnya. “Kakak tuh peka loh, nggak mungkin kamu bener-bener gapapa kalau kaya gini. Kita udah pacaran setahun lebih. Kamu ada masalah apa, sih? Bener-bener nggak mau ngomong ke Kakak?”

Lantas, bendera peperangan pun berkibar.

“Bukannya Kak Josh yang seharusnya ngomong ke aku? Bukannya yang seharusnya jelasin semuanya tentang hal yang nggak aku tau itu Kakak?” suara Mingyu kini menggema ke seluruh sudut mobil.

“Maksud kamu apa?”

Ada perih yang menggores relung Mingyu untuk kesekian kalinya. Ada rasa sakit yang merambat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pemuda itu tidak yakin apakah yang Joshua ucapkan adalah sebuah kejujuran atau kepura-puraan. Yang jelas, segala emosi yang dia tahan kini sudah berkumpul semuanya di mulutnya. Bersiap untuk meledak.

“KENAPA. HARUS. LA?!” Mingyu menggigit bibirnya setelah mengucapkan pertanyaan itu dengan penuh penekanan. Dan sekali lagi, dia kembali membuka suara dengan jauh lebih nyaring. “Kenapa harus ke LA, Kak? Dan kenapa nggak bilang ke aku?!”

Maka di detik itu juga, seluruh saraf yang ada di tubuh Joshua seolah hilang fungsi. Bagaimana tiga kalimat tanya dengan tuju yang sama itu membuat Joshua terdiam tanpa ada sepatah kata yang mampu lolos dari bibirnya. Dan melihat bagaimana Joshua mematung, Mingyu mendecak frustasi. Pemuda itu mengacak rambutnya yang sudah ditata dengan rapi dan kembali memfokuskan pandangannya kepada Joshua yang tampaknya tidak bisa menjawab apapun.

“Kak … aku tuh nggak ada apa-apa di mata kamu, ya? Aku udah nggak penting lagi ya, sampai hal yang sepenting itu malah harus aku tau dari Mamih?” Ada Mingyu yang kini meremat kencang hoodie miliknya tepat di depan dada. Tepat di depan jantungnya. Sesak. Rasa emosi, rasa kesal, rasa penasaran, dan segala-galanya, yang tadinya berusaha ia tahan nyatanya tidak pernah jadi mudah untuk dibiarkan begitu saja. Bahkan, segalanya makin begitu menyakitkan kala tatap keduanya bertemu. Kala air mata Mingyu sudah mulai menumpuk di sudut matanya. “Kalau Mamih nggak kasih tau aku, kamu mau tetep biarin aku kan jadi orang bego gini? Kamu bakalan biarin aku nggak tau apapun bahkan sampe kamu berangkat. Iya, kan, Kak?!”

“Mingyu, kamu tuh ngomong apa sih.” Joshua menghela napas. Mobil yang dia kemudikan langsung dipinggirkan tiba-tiba. “Kenapa bahkan kamu nggak mau ngobrol baik-baik sama Kakak dan malah bertingkah kaya bocah gini?”

“BOCAH?! Wah gila, ya.” Mingyu menatap Joshua dengan tidak percaya. “I’m old enough to ask you about this, tapi di mata kamu, aku masih tetep bocah ya, Kak? Yang masih nggak tahu apa-apa, oh … atau harus pura-pura nggak tau aja ya, kalo pacarnya mau lanjut studi ke LA bahkan sampai kamu udah berangkat dan sampai sana. Oke. Oke.”

Segala ucapan yang keluar dari bibir Mingyu dihadiahi stir mobil yang dipukul dengan kencang oleh Joshua, refleks Mingyu tersentak dan menutup matanya sampai dia menemukan Joshua yang tengah mengepalkan kedua tangannya dengan napas yang memburu, menatapnya dengan tajam.

“Kamu bisa nggak sih, sedikit aja ngehargain Kakak? Dari tadi Kakak nggak dikasih kesempatan buat ngomong, nggak dikasih kesempatan buat jawab pertanyaan kamu. Kamu malah sibuk berasumsi sendiri.”

“Gimana nggak berasumsi sih, Kak!” bentak Mingyu makin keras, mungkin orang di luar sana yang tidak sengaja lewat bisa saja mendengarkannya. Namun dia tidak peduli. Karena yang ada di otaknya hanyalah kemarahan, emosi, dan kekecewaan yang akhirnya meledak di detik itu juga. “Kamu emangnya mikir gimana perasaanku? Selama ini aku tau apa sih tentang kamu, Kak? Nggak ada. Kamu nggak pernah cerita sama sekali. Kamu nggak pernah ngobrolin kehidupan kuliah kamu, hari-hari kamu, apalagi… apalagi rencana yang sepenting ini. Coba kalo keadaannya dibalik? Apa Kakak bakalan gapapa? Apa Kakak nggak bakalan kesel?”

“Mingyu, stop.”

See? Kakak nggak bisa jawab apapun kan. Kakak nggak nyangka kan aku udah tau duluan.”

“Mingyu, please udah stop. Kita diliatin sama orang-orang.”

Benar. Di luar ada beberapa pasang mata yang tengah menyaksikan perdebatan mereka sambil berbisik-bisik, membuat Mingyu mendengus kesal sembari memalingkan wajahnya dari Joshua dan memilih untuk menyandarkan dirinya.

“Obrolin di rumah aja, ya? Kakak bakalan ceritain semuanya ke kamu, Sayang.”

Terserah.”

Mobil yang dikemudikan Joshua sampai di depan rumah milik Mingyu, tetapi alih-alih berbicara empat mata, Mingyu malah buru-buru melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil.

“Ngobrol di chat aja deh, Kak. Aku capek.”

Namun sebelum Mingyu berhasil keluar dari mobil, Joshua buru-buru menahan, menggenggam lengan Mingyu dengan erat. “Dengerin Kakak dulu, Sayang. Ayo obrolin semuanya sampai selesai, baru kita pulang ke rumah.”

“Kak, aku tuh capek. Berantem sama kamu terlalu nguras tenaga. Kalo ujungnya kita berantem lagi, mending di chat aja. Aku bener-bener capek.”

Mendengar itu, Joshua mengalah. Dia melepaskan lengan Mingyu begitu saja. “Okay, kita obrolin ini di chat aja. Maafin Kakak ya.”

Setelah dua kalimat yang diucapkan oleh Joshua, Mingyu keluar dari mobil itu dan berlari kencang menuju rumahnya. Bahkan, ketika Mamih menanyainya, Mingyu lebih memilih menaiki tangga tanpa memberi jawab. Dia melemparkan dirinya ke ranjang, menumpahkan segala kesedihan dan air mata yang belum sempat dia keluarkan tadi. Bukannya mendapatkan penjelasan dan alasan yang masuk akal, Mingyu justru mendapatkan rasa sakit lain dari perdebatannya dengan Joshua.

Mingyu berusaha sebaik mungkin memainkan perannya. Sayangnya, tumpukan kekacauan yang ada di dalam dirinya membuatnya patah.

Panggung sandiwaranya roboh tak bersisa.

--

--

sha.
sha.

Written by sha.

write what i want to read — @oceamoone on twitter. questions box: neospring.org/@milksea. support me on trakteer: trakteer.id/milksea 𖹭

Responses (1)